![]() |
Kepala Dinas Pendidikan Tabanan, I Gusti Putu Ngurah Darma Utama |
SUARABANTAS.COM, Tabanan - Fakta mencengangkan terungkap dalam rapat kerja antara legislatif dan eksekutif terkait Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Gedung DPRD Tabanan pada Rabu (14/5/2025). Dalam pertemuan tersebut, terungkap bahwa puluhan siswa di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Tabanan, masih mengalami kesulitan dalam membaca.
Ketua DPRD Kabupaten Tabanan, I Nyoman Arnawa, menyampaikan bahwa berdasarkan temuan di lapangan, terdapat sekitar 23 siswa yang belum lancar membaca. Salah satu contoh konkret yang ia sebutkan adalah adanya dua siswa di sebuah SD di Desa Mangesta, Kecamatan Penebel, yang belum memiliki kemampuan membaca yang memadai. Lebih mengkhawatirkan lagi, Arnawa menemukan seorang siswa yang akan lulus SMA tahun ini juga masih kesulitan membaca.
"Saya temukan langsung di lapangan. Ada sekitar dua siswa yang belum cakap membaca. Salah satu siswa itu bahkan tahun ini lulus SMA, tapi saat saya tanya, ternyata masih belum bisa membaca dengan baik," ujarnya dalam rapat kerja yang dihadiri oleh sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.
Menyikapi temuan ini, Arnawa mendesak Dinas Pendidikan Tabanan untuk segera mencari solusi yang efektif. Ia mempertanyakan efektivitas metode pengajaran yang diterapkan oleh para guru selama ini, menduga bahwa hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor penyebab utama permasalahan literasi ini.
"Ini sudah menjadi urusan dinas. Perlu ditelusuri, apakah masalahnya ada di metode mengajar guru atau ada faktor lain," tegasnya.
Kepala Dinas Pendidikan Tabanan, I Gusti Putu Ngurah Darma Utama, yang turut hadir dalam rapat tersebut, tidak menyangkal adanya permasalahan siswa yang belum cakap membaca di wilayahnya. Ia menjelaskan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Tabanan, tetapi juga menjadi isu nasional di berbagai daerah di Indonesia.
Darma Utama memaparkan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kondisi ini. Salah satunya adalah adanya siswa berkebutuhan khusus (ABK) yang mengikuti pendidikan reguler melalui program inklusi. Ia mengakui bahwa keterbatasan yang dimiliki siswa ABK dapat mempengaruhi kemampuan mereka dalam membaca.
"Masalah ini juga dipengaruhi oleh keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mengikuti sekolah reguler melalui program inklusi. Jadi pasti ada beberapa siswa yang belum cakap membaca karena keterbatasan tersebut," jelasnya.
Selain itu, Darma Utama menambahkan bahwa sebagian siswa juga belum mendapatkan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung) yang memadai saat di jenjang Taman Kanak-kanak (TK), sesuai dengan aturan yang berlaku. Faktor ekonomi keluarga juga turut menjadi penyebab, di mana dari total 23 siswa yang teridentifikasi, tiga di antaranya berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas.
Meskipun demikian, Darma Utama menegaskan bahwa pihaknya telah mengambil sejumlah langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini. Upaya-upaya tersebut meliputi pembentukan Unit Layanan Disabilitas di dinas pendidikan untuk memberikan penanganan khusus kepada siswa berkebutuhan khusus, serta pembentukan tim penguatan literasi dan numerasi di tingkat sekolah dan kabupaten.
"Tim ini bertugas mendampingi anak-anak yang belum cakap membaca, menangani kekerasan terhadap anak, dan mengatasi keterlambatan belajar," pungkas Darma Utama.
Temuan ini menambah daftar panjang permasalahan literasi di kalangan siswa di Bali. Sebelumnya, ratusan siswa SMP di Buleleng juga dilaporkan mengalami kesulitan membaca, yang kemudian menjadi perhatian serius berbagai pihak, termasuk Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). (*)