UY0EvzZgeEEo4KiQ1NIivy9VYY1PQHFF9n6p7Enr
Bookmark

Pura Dang Kahyangan Gading Wani Menapak Jejak Darma Yatra Danghyang Dwijendra


Pura Dang Kahyangan Gading Wani Desa Lalanglinggah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan Provinsi Bali

SUARA BANTAS.
Berdasarkan mitos para Penglingsir pangemong pura serta mengacu kepada beberapa tulisan tentang
 sejarah Pura Gading Wani, pengemong dan penyungsung  pura menyakini bahwa keberadaan Pura Gading Wani mempunyai pertalian yang sangat erat dengan sejarah perjalanan Dharma Yatra Empu Danghyang Nirartha atau Dangyang Dwijendra di Bali, yang dilakukan Beliau juga dalam rangka mempertebal pemahaman Agama Hindu pada masyarakat. Sesuai dengan keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia,yang menyatakan bahwa semua tempat suci atau pura yang didirikan dalam perjalanan Dangyang Dwijendra merupakan Pura Dang Kahyangan, maka kami para pengemong dan penyungsung telah sepakat menetapkan status Pura Gading Wani sebagai Pura Dang Kahyangan.



Secara geografis keberadaan Pura Gading Wani terletak di Desa Pakraman Lalanglinggah Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan, yaitu di sebelah timur Tukad Balian sekitar  250 meter sebelah utara jalan provinsi Denpasar-Gilimanuk. Lokasi Pura Gading Wani sekitar 12 Km dari Bajera (Kota Kecamatan Selemadeg), 30 Km dari Kota Tabanan, dan sekitar 52 Km dari Kota Denpasar. Pura Gading Wani berada di daerah pesisir selatan Pulau Bali, yaitu sekitar 800 meter dari pantai, dengan ketinggian sekitar 15 meter dari muka laut. 



Sehingga Pura Gading Wani sangat terpengaruh dari angin pantai. Pengemong  Pura Gading Wani adalah umat Hindu yang ada di Desa Adat Lalnglinggah ( 117 KK) dan Warga Dadia Purwa Gading Arum di Desa Lumbung (100 KK). Selain itu,terdapat juga penyungsung  yang berasal dari para pemilik sawah/tegalan yang ada di sekitar pura, serta beberapa keluarga di Gadungan, Mal Kangin (Tabanan), Binoh (Denpasar), Blumbang, Kerambitan, dan Penyaringan (Jembrana) yang secara turun temurun telah melakukan persembahyangan di pura ini.

Keberadaan dan perkembangan Agama Hindu di Indonesia khususnya di Bali tidak terlepas dari nama-nama Guru-guru Agama Hindu seperti Danghyang Markandya, Empu Sangkulputih, Empu Kuturan, Empu Manik Angkeran, Maharsi Agastya, Empu Jiwaya, dan yang terakhir disebut-sebut Danghyang Dwijendra. Dalam rangka menelusuri perjalanan beliau Pendeta Danghyang Nirartha/Pendeta Sakti Bahu Rawuh kaitannya dengan keberadaan Pura Gading Wani di desa Adat Lalanglinggah Kecamatan Selemadeg Barat, kabupaten Tabanan mengacu pada sumber : Dwijendra Tatwa karangan I G.B.Sugriwa, penerbit Upada Sastra, tahun 1993Laporan Tim Inventarisasi/pendataan Pura Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Tahun 1997.Geguritan Tutur Sebun Bangkung, alih aksara oleh Drs. I Wayan Djapa, Tahun 1999Mitos, informasi dari para Penglingsir, Penyungsung, dan Pengemong Pura Gading wani.

Buku Dwijendra Tatwa menyebutkan bahwa perjalanan suci Danghyang Nirarta sampai di Desa Gading Wani merupakan tempat persinggahan ketiga setelah Perancak dan Mpulaki. Perjalanan beliau ke timur dari Desa Mpulaki ke desa Gading Wani disertai oleh 6 (enam) orang putra-putri Beliau, dan kebetulan waktu itu di Desa Gading Wani diserang penyakit sampar (gering gerubug).
Bendesa Gading wani tatkala mengetahui Sang Pendeta datang segera menjemput di tengah jalan sambil berdatang sembah seraya memohon dengan berlinang air mata

 :Empu Danghyang kami mengucapkan selamat datang bahwa Sang Pendeta telah sudi datang ke desa kami yang sedang ditimpa penyakit gerubug. Setiap hari ada saja orang-orang kami meninggal dengan mendadak. Kami mohon hurip (hidup). Mohon dengan hormat sudi apalah kiranya Empu Danghyang membeir obat kepada kami agar  yang sakit bisa sembuh dan hama penyakit bisa hilang” 

Danghyang terharu dan belas kasihan mendengarkannya. Seketika Ki Bendesa disuruh mengambil air bersih ditempatkan di sangku, periuk, atau sibuh. Setelah diberi mantram oleh Sang Pendeta, disuruh memercikkan kepada yang sakit dan meminumnya.

Setelah diperciki dan meminum air tirtha itu orang yang sakit seketika itu bisa sembuh segar bugar. Pada sore harinya (sandya kala) sang pendeta memerintahkan orang-orang meletakan  ganten (kunyahan sirih) beliau di empat penjuru tepi Desa untuk mengusir bhuta kala (hantu setan) yang membikin penyakit. Memang betul-betul Sang Pendeta orang sakti, setelah perintah dilaksanakan , seketika itu orang-orang desa dapat membuktikan dan melihat bayangan bangsa bhuta kala dengan rupa beraneka ragam melarikan diri ke dalam laut. Orang desa banyak yang turut menyaksikkan pemandangan yang ajaib itu dan semuanya heran tentang kesaktian Sang Pendeta. Mulai ketika itu beliau diberi gelar “Pendeta Sakti Bahu Rawuh” artinya Pendeta Sakti baru datang. Mereka yang pandai bahasa kawi (jawa kuno) menyebut beliau itu sebagai “Danghyang Dwijendra” artinya Raja Pendeta Guru Agama.

Orang-orang desa semuanya riang gembira , tiap-tiap hari bergilir menghanturkan santapan kepada Sang Pendeta dan putra-putrinya dan membuatkan pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh/Gading Wani. Harapan orang-orang desa supaya Sang Pendeta menetap di sana, tetapi Sang Pendeta keberatan karena masih akan meneruskan perjalanan ke timur. Ki Bendesa Gading Wani mohon berguru dan membersih (mediksa) menjadi pendeta. Sang Pendeta berkenan meluluskan permohonannya agar ada orang tua pembimbing agama disana.

Ki bendesa Gading Wani diajar ilmu kebatinan dan ketuhanan, selanjutnya dibersihin (didiksa) menjadi pendeta (Dukuh) Gading wani. Setelah itu diberi suatu penugrahan (anugrah) berupa : Kidung Sebun Bangkung, Sabit, Sibuh, Dapak, Cakepan Lontar,dan Keris. Karena baktinya orang-orang Desa Gading wani zaman dahulu dan didorong rasa terima kasih yang sangat mendalam terhadap Empu Danghyang Dwijendra, dan untuk mengenang jasa beliau maka didirikan Pura Gading Wani.

Laporan Tim Inventarisasi /pendataan Pura Propinsi Dati I Bali tahun 1997 yang antara lain mengungkap sejarah Pura Gading wani tentang nama pura, letak pura, sejarah pura, status dan fungsi, hari piodalan, upacara piodalan, dan upacara yadnya, penyiwi dan pengempon, pemangku, pelaba pura, struktur pelinggih, usaha pemeliharaan kesucian  pura, yang dilengkapi dengan denah, dan lain-lain. Para anggota Tim cukup terkesan dengan keberadaan Pura Gading Wani, dan meyakini bahwa Pura Gading Wani adalah termasuk salah satu Pura Dang Kahyangan di Kabupaten Tabanan. Geguritan Tutur sebum Bangkung yang merupakan suatu penugrahan (anugrah) kepada Ki Bendesa Gading wani hanya memuat tentang tutur kediyatmikan dan tutur kesucian semata, tidak ada menyebut tentang keberadaan Pura Gading Wani.

Berdasarkan mitos dan informasi dari penglingsir dan Pengemong Pura Gading Wani, dapat dikatakan bahwa Pura Gading wani hingga kini belum memiliki sejarah pendirian pura secara tertulis. Menurut cerita/uraian zaman Belanda (Adatrechtbundels,1934) disebutkan bahwa pada zaman kerajaan Bali kedudukan Desa Gading Wani sebagai satu desa di bawah kekuasaan seorang Perbekel yang ditugaskan oleh Raja Tabanan menjaga perbatasan dengan Jembrana. Adapun batas-batas kerajaan itu masih dapat dilihat pada bentuk-bentuk fisik yang ada di Tukad Balian dan sekitarnya. Tempat ini merupakan tempat angker (pingit), yang oleh Raja Tabanan dijadikan tempat pembuangan orang-orang yang menjalankan ilmu hitam. Berkat kekeramatan dan keangkeran Pura Gading Wani, akan dapat dibuktikan apakah seseorang yang dituduh menjalankan ilmu hitam memang benar atau tidak. Apabila benar, maka dalam waktu satu minggu orang tersebut akan meninggal, sedangkan bila tuduhan tidak benar, maka orang tersebut akan tetap bertahan hidup, dan kemudian dalam waktu satu bulan tujuh hari dikembalikan ke tempat asalnya dari pengasingan di Desa Gading Wani.

Ditinjau dari salah satu lintasan perjalanan yang dilakukan zaman dahulu, yang memakai jalur pesisir, tampaknya lokasi geografis Desa Gading Wani (Lalanglinggah sekarang) yang terletak di pinggir pantai, memang mempunyai kaitan erat dengan perjalanan Dharma Yatra Danghyang Dwijendra di Bali. Sehingga kejadian sejarah perjalanan Danghyang Dwijendra di Bali diyakini berkaitan erat dengan keberadaan Pura Gading wani. Lokasi pura yang memang berada dalam lintasan perjalanan merupan pendukung kuat terhadap kebenaran Tatwa Dwijendra tersebut diatas. Dalam mitos yang disampaikan secara turun temurun dikatakan bahwa salah satu ganten (kunyahan sirih) Danghyang Dwijendra tumbuh menjadi sebuah pohon besar, yang diberi  nama pohon kunyit, yang sampai saat ini pohon kayu kunyit itu masih hidup tegak menempel pada penyengker bagian Timur dan merindangi Pura Gading wani. Berbagai kejadian aneh yang oernah disaksikkan orang (kawehan/ilusi) pada pohon kunyit, memberikan keyakinan bahwa pohon kunyit itu memang tumbuh berkat kesaktian Danghyang Dwijendra.

Di sebelah barat pura terbentang sungai besar yaitu Tukad Balian yang artinya sungai yang mampu menyembuhkan wabah penyakit. Konon Danghyang Dwijendra menancapkan tongkat beliau di bagian hulu sungai dan kemudian menyuruh orang-orang desa yang “kegeringan” mebersih di hilirnya, dan seketika itu orang-orang desa itu sembuh. Dikaitkan dengan kesucian Tukad balian, ternyata setelah diamati sungai tersebut mempunyai 11 (sebelas) anak sungai. Secara mitos sungai seperti ini sangat baik untuk penglukatan dan penyucian diri di Tukad Balian yang dianggap suci ini. Diyakini pula oleh pengemong pura bahwa pada sebuah “tibu” yang disebut Tibu Gading Wani dihuni oleh “buaya gading”, serta dalam “wewengkon pura”juga terdapat “macan gading”

Kini semua “benda-benda peralatan” peninggalan beliau tidak ada lagi di pura, karena pernah dipinjam oleh salah seorang warga dari Jembrana, dan keluarga yang meminjam tersebut kini telah tiada. Pihak Pengemong Pura Gading Wani telah berusaha untuk mengembalikan seluruh peralatan peninggalan tersebut, namun sampai saat ini belum berhasil.Dari pemaparan  di atas jelaslah bahwa keberadaan Pura Gading Wani dilatar belakangi oleh sejarah perjalanan Dharma Yatra dari Empu Danghyang Dwijendra di Bali. Tentang kapan didirikan Pura Gading Wani tidak diketahui secara pasti, karena data tertulis yang akurat tidak ada. Namun demikian dapat diperkirakan pura ini berdiri setelah Danghyang Dwijendra melewati Desa Gading Wani yaitu pada abad 15. Sekitar abad 16 nama Desa Gading Wani telah diubah namanya  menjadi Desa Lalanglinggah.

Dalam Rangka mewujudkan pembangunan/pemugran Pura Dang Kahyangan Gading Wani, pada tahun 2000 telah dibentuk panitia pembangunan /pemugaran yang bertugas untuk  mengkoordinasikan segala sumber daya dan dana,( susunan panitia akan kami lampirkan). Sejak dibentuk, panitia bekerja keras dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama bertugas menggali sejarah dan kelompok yang kedua bertugas merencanakan pembangunan fisik. Namun karena keterbatasan dana pembangunan fisik dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2002, saat ini bangunan utama telah rampung.

Sebagai rangkaian akhir dari pembangunan pura sudah dilaksanakan Upacara Melaspas Ngenteg Linggih, Memungkah Mupuk Pedagingan Mapadudusan Agung Manawa Ratna Tawur Balik Sumpah dilaksanakan pada hari Kamis Uku Kelawu, tanggal 1 Maret 2018. Sumber sejarah tentang keberadaan Pura Dang Kahyangan Gading Wani  disampaikan Jumat 22 Desember 2017 oleh I Ketut Arta, S.Sos yang pada saat acara sebagai  sekretaris panitia karya ngenteg linggih  seijin Bendesa Adat I Ketut Arjana dan Ketua Umum I Made Gina di Desa Lalanglinggah Kecamatan Selemadeg Barat,  Tabanan, Bali. (Adi)