SUARABANTAS.COM, Jakarta - Inisiatif program pengiriman siswa dengan masalah perilaku ke barak militer yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menunjukkan potensi untuk diadopsi secara nasional. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, pada Selasa (6/5/2025), menyusul hasil uji coba program tersebut.
"Kalau itu berlangsung uji coba pertama ini bagus, ya kami meminta Menteri Dikdasmen untuk mengeluarkan sebuah peraturan supaya ini bisa dijalankan secara masif di seluruh Indonesia, kalau bagus," ujar Natalius, seperti dikutip dari Kompas.com. Ia menambahkan bahwa pendidikan di lingkungan militer diyakini dapat memberikan perspektif yang lebih positif bagi masa depan siswa, serta meningkatkan kualitas diri, kompetensi, karakter, mental, disiplin, dan rasa tanggung jawab.
Dari sudut pandang psikologi pendidikan, program ini menuai respons positif dari para ahli. Pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Dharma, menyatakan dukungannya pada Rabu (7/5/2025).
Menurutnya, siswa yang dikirim ke barak militer merupakan kasus khusus yang membutuhkan penanganan khusus pula, mengingat mereka umumnya memiliki masalah kecanduan alkohol, gim daring, merokok, hingga terlibat tawuran dan geng motor yang sudah di luar kapasitas penanganan sekolah maupun orang tua.
"Jadi ini adalah special case (kasus khusus) yang membutuhkan special treatment (perlakuan khusus)," tegas Satria. Ia juga mendapatkan informasi bahwa para siswa yang mengikuti program ini memiliki kesadaran untuk berubah dan merasa tidak mampu melakukannya di lingkungan rumah mereka.
Kurikulum di barak militer mencakup pendidikan bela negara, wawasan kebangsaan, pertolongan pertama, kedisiplinan, anti-narkoba, serta pendidikan keagamaan, yang menurut Satria, mungkin tidak didapatkan siswa di lingkungan sekolah maupun rumah mereka. Ia mengajak pihak-pihak yang skeptis untuk meninjau langsung program ini dan memberikan masukan konstruktif.
Senada dengan Satria, pengamat pendidikan Ina Liem juga memberikan dukungan terhadap program ini. Ia menilai kebijakan ini sebagai intervensi yang tepat sasaran, terutama bagi siswa yang merasa terpinggirkan dalam sistem pendidikan formal.
Menurutnya, label "nakal" seringkali diberikan kepada siswa yang sebenarnya kehilangan kesempatan untuk meraih keberhasilan di sekolah maupun di rumah. "Ini bukan soal disiplin semata, tapi soal memberi mereka 'sense of achievement'," ungkap Ina pada Rabu (7/5/2025).
Ina menyoroti bahwa sistem pendidikan reguler, terutama dengan kebijakan "teaching to the test" yang berfokus pada skor ujian, seringkali gagal membangun rasa pencapaian ini. Ia menekankan perlunya perbaikan narasi kebijakan barak militer agar tidak dipandang sebagai hukuman, melainkan sebagai bentuk pengakuan dan harapan bagi siswa.
Selain itu, ia mengingatkan pentingnya menjamin hak-hak anak dan mencegah potensi kekerasan dalam pendekatan ini. Meskipun demikian, Ina menilai inisiatif ini layak dipertimbangkan secara serius sebagai strategi kebijakan pendidikan untuk memulihkan nilai-nilai kebangsaan yang mulai terkikis, bahkan menyarankan agar pendekatan serupa juga diterapkan pada guru mengingat adanya laporan mengenai opini intoleran di kalangan pendidik. (*)