UY0EvzZgeEEo4KiQ1NIivy9VYY1PQHFF9n6p7Enr
Bookmark

Melestarikan Warisan Leluhur di Tengah Sawah: Festival ke Uma V Hidupkan Kembali Permainan Tradisional yang Nyaris Punah

SUARABANTAS.COM, Tabanan – Sebuah inisiatif pelestarian budaya yang menyentuh akar tradisi digelar di tengah lahan pertanian. Petak sawah kering di Subak Sidangrapuh, Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, mendadak menjadi panggung edukasi luar sekolah yang sarat akan warisan leluhur. Perhelatan Festival ke Uma V yang berlangsung selama dua hari, mulai Sabtu (27/9), sukses menghidupkan kembali permainan tradisional yang hampir punah, menjauhkan generasi muda dari dominasi gawai.

Festival ke Uma V, yang digagas oleh Sanggar Buratwangi dan Wintang Rare, secara khusus menempatkan budaya pertanian dan permainan tradisional sebagai agenda utama. Puluhan siswa SD Negeri 1 Marga Dauh Puri dan anak-anak desa lainnya menjadi partisipan utama dalam rangkaian kegiatan tersebut.

Fokus utama hari pertama adalah peluncuran kembali dua permainan tradisional yang kini langka: 'Matimbang' dan 'Paid Upih'. Permainan Matimbang menantang peserta untuk menyeimbangkan timbangan bambu dengan dua terong di atas hidung sambil berlari menembus tumpukan jerami. Dibawah panduan Ketua Sanggar Buratwangi, I Nyoman Budarsana, permainan ini sukses menguji fokus dan keseimbangan anak-anak.

Keceriaan berlanjut dengan permainan 'Paid Upih', atau tarik pelepah pinang di area sawah berlumpur. Permainan berpasangan ini menguji kekompakan dan keberanian, di mana aksi berlari sambil terjatuh di lumpur justru menjadi momen yang paling menghibur dan membangun kebersamaan.

Festival berlangsung selama dua hari penuh, dimulai pada Sabtu, 27 September, bertempat di sawah kering Subak Sidangrapuh, Desa Marga Dauh Puri, Tabanan. Kegiatan ini dipandang sebagai bentuk pembelajaran yang tak ternilai oleh pihak sekolah. Kepala Sekolah, Luh Putu Mutiara Roshita Adi, menyatakan bahwa siswa tidak hanya diperkenalkan pada lingkungan sawah secara fisik, tetapi juga budaya lokal seperti 'Matimbang'.

Guru pendamping, I Made Wetro, SPd, menambahkan bahwa pengalaman seperti ini sulit didapatkan di era modern, menegaskan pentingnya kegiatan yang dapat menumbuhkan semangat, ketangkasan, dan kebersamaan, yang sering luput dalam kurikulum formal. Sorak sorai anak-anak di pematang sawah saat menyaksikan kegagalan dan kebangkitan teman-temannya menjadi bukti kuatnya nilai-nilai sosial yang terjalin.

Selain permainan Matimbang dan Paid Upih, keceriaan juga diisi dengan lomba lari 'Megandong' (menggendong) di sawah. Sebagai penutup kegiatan sore, Festival ke Uma V juga menggelar workshop Megandu, permainan tradisional yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, serta Program ‘Respon Sosial’ berupa pemutaran film pendek yang menyuarakan isu keluarga hingga lingkungan dari sudut pandang anak dan remaja.

Hari kedua festival diisi dengan agenda seperti yoga, workshop film, workshop Ecoprint, dan pengenalan tanaman herbal. Festival ditutup dengan pementasan seni pertunjukan, termasuk ‘Tanda Tapak’ dan ‘Ahli Fungsi Tangis’, yang secara konsisten menegaskan kembali pentingnya menjaga budaya leluhur. I Made Wetro bahkan berjanji untuk memperkenalkan budaya 'matekap' (membajak tanah tradisional) jika festival kembali digelar tahun depan, menunjukkan komitmen kuat dalam revitalisasi tradisi. (*)