![]() |
I Gede Ketut Wedha mantan Bendesa Adat Bantas |
SUARABANTAS.COM, Tabanan - Setiap desa di Bali menyimpan kisahnya sendiri, yang terukir dalam cerita turun-temurun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakatnya. Salah satunya adalah Desa Bantas, Kecamatan Selemadeg Timur sebuah wilayah yang namanya ternyata memiliki sejarah mendalam yang berasal dari kata “Wates” atau batas. Kisah ini bukan sekadar legenda, melainkan cerminan dari kebijaksanaan seorang raja yang ingin menegakkan keadilan di tengah dilema keluarga dan kekuasaan.
Kisah ini diceritakan kembali Selasa, (2/9/2025) di Br. Bantas Bale Agung, oleh salah satu tokoh masyarakat Desa Adat Bantas, I Gede Ketut Wedha (70), yang pernah menjabat sebagai Bendesa Adat Bantas selama dua dekade, perkiraan tahun 1988 hingga 2008. Beliau mendapatkan cerita ini langsung dari kakeknya, Jero Mangku I Gede Brahma (alm), yang merupakan pemangku di Pura Dalem Desa Adat Bantas pada era 1960-an dan 1970-an.
Dilema di Puri Tabanan: Janji vs. Aturan Kerajaan
Alkisah, di Puri Tabanan, sang Raja memiliki dua orang istri. Istri pertama adalah permaisuri, seorang putri bangsawan yang berhak melahirkan pewaris takhta sesuai tradisi. Sementara istri kedua berasal dari kalangan rakyat biasa. Sang Raja, dalam sebuah janji yang mungkin terucap spontan, menyatakan bahwa siapa pun yang lebih dulu melahirkan anak laki-laki akan menjadi penerus takhtanya.
Secara tak terduga, istri kedua melahirkan seorang putra terlebih dahulu. Tak lama kemudian, permaisuri juga melahirkan seorang putra. Situasi ini menempatkan Sang Raja dalam dilema besar. Di satu sisi, ia terikat oleh janji yang telah ia ucapkan. Namun, di sisi lain, tradisi dan aturan puri menegaskan bahwa pewaris takhta yang sah haruslah lahir dari permaisuri. Setelah berdiskusi dengan para patih dan tokoh puri lainnya, diputuskan bahwa aturan adat harus ditegakkan. Putra dari permaisuri lah yang berhak menjadi penerus takhta kerajaan.
Keputusan ini memicu perasaan tidak adil di hati putra dari istri kedua. Ia merasa dianak-tirikan dan diperlakukan tidak setara dibandingkan adiknya. Perasaan ini semakin membesar seiring berjalannya waktu, hingga akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Puri Tabanan.
Pencarian dan Kesepakatan di Tanah Perbatasan
Kepergian sang putra membuat Raja merasa sedih dan khawatir. Ia segera memerintahkan para patih untuk mencari keberadaan putranya. Setelah pencarian yang cukup lama, para patih menemukan sang putra di wilayah Buleleng. Di sana, sang putra ternyata sedang memperdalam ilmu batin dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya.
Pada panggilan pertama, sang putra menolak untuk kembali ke puri. Ia masih menyimpan luka dan kecewa di hatinya. Tidak menyerah, Raja kembali mengirimkan utusan untuk kedua kalinya. Kali ini, sang putra bersedia kembali dengan satu syarat: keinginannya harus dipenuhi.
Melihat putranya yang kini telah dewasa dan memiliki pendirian, serta menyadari usianya yang semakin senja, Sang Raja merasa inilah saatnya untuk berbuat adil. Untuk meredakan ketegangan dan memberikan pengakuan yang setara kepada kedua putranya, Sang Raja mengambil keputusan besar. Ia memutuskan untuk membagi wilayah Puri Tabanan menjadi dua bagian. Sebagai penanda batas wilayah tersebut, Raja menunjuk sebuah pohon yang sangat khas, yaitu Pohon Bantara. Pohon ini menjadi penanda fisik dari pembagian wilayah.
Dari "Wates" Menjadi Bantas: Sebuah Jejak Sejarah yang Hidup
Sejak saat itu, wilayah di sebelah selatan pohon Bantara menjadi bagian dari Puri Kerambitan, dan wilayah di sebelah utara pohon Bantara tetap menjadi Puri Tabanan. Wilayah perbatasan yang dikenal sebagai “Wates” inilah yang seiring berjalannya waktu mengalami perubahan nama dan pelafalan. Kata “Wates” kemudian berkembang dan lebih akrab diucapkan menjadi “Bantas.”
Keberadaan pohon Bantara ini menjadi bukti sejarah yang tak terbantahkan. I Gede Ketut Wedha menjelaskan bahwa pohon ini dulunya, berada sekitar 200 meter di utara Pura Bedugul Subak Mangku Mambang. Lokasi ini menjadi saksi bisu dari keputusan bijaksana seorang raja dan asal-usul nama sebuah desa yang kini dikenal sebagai Desa Bantas.
Kisah Desa Bantas bukan hanya sekadar cerita tentang batas wilayah, melainkan sebuah narasi tentang keadilan, rekonsiliasi, dan bagaimana sebuah keputusan besar di masa lalu dapat membentuk identitas sebuah komunitas hingga hari ini. Cerita ini menjadi pengingat bagi masyarakat Bantas tentang pentingnya menjaga harmoni dan menghargai sejarah yang telah diwariskan oleh para leluhur. Dengan demikian, nama Bantas akan terus hidup, tidak hanya sebagai sebutan tempat, melainkan sebagai sebuah warisan sejarah yang berharga. (Adi)