![]() |
Rektor Universitas Hindu Negeri (UHN) Gusti Bagus Sugriwa, Prof. Dr. IGN Sudiana |
SUARABANTAS.COM, Denpasar , (16/4/2025) – Jelang perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan tahun 2025, umat Hindu di Bali dan Jawa melaksanakan serangkaian ritual penyucian yang sarat makna. Dua di antaranya adalah Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, yang dilaksanakan secara berurutan enam dan lima hari sebelum Hari Raya Galungan yang jatuh pada Rabu, 23 April 2025.
Rektor Universitas Hindu Negeri (UHN) Gusti Bagus Sugriwa, Prof. Dr. IGN Sudiana, menjelaskan bahwa meskipun berbeda dalam pelaksanaannya, kedua upacara ini memiliki esensi penting bagi umat Hindu dan keseimbangan alam semesta.
Sugihan Jawa dan Sugihan Bali adalah dua upacara ritual yang dilaksanakan umat Hindu menjelang Hari Raya Galungan. Umat Hindu, khususnya di Bali dan Jawa, melaksanakan ritual ini. Prof. Dr. IGN Sudiana, Rektor UHN Gusti Bagus Sugriwa, memberikan penjelasan mendalam mengenai makna kedua upacara tersebut.
Ritual ini dilaksanakan di berbagai tempat suci dan lingkungan tempat tinggal umat Hindu, terutama di Bali dan Jawa. Sugihan Jawa dilaksanakan enam hari menjelang Galungan (Kamis, 17 April 2025), diikuti oleh Sugihan Bali sehari setelahnya, lima hari menjelang Galungan (Jumat, 18 April 2025).
Sugihan Jawa bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan alam semesta (makrokosmos) dari berbagai kekotoran yang diyakini terjadi selama enam bulan terakhir, baik akibat ulah manusia maupun fenomena alam. Sebagaimana tertulis dalam Lontar Sundarigama sebagai “amrayascita bhuana agung”, ritual ini juga merupakan bentuk penghormatan kepada para Dewa, Bhatara-bhatari, dan leluhur.
Sementara itu, Sugihan Bali fokus pada pembersihan dan penyucian diri sendiri (mikrokosmos), atau yang disebut dalam Lontar Sundarigama sebagai “amrayascita buana alit”. Upacara yang dilaksanakan pada hari Jumat (Sukra) ini bertujuan untuk menyucikan “kaya, wak, mwang manah” (perilaku, ucapan, dan pikiran).
Sugihan Jawa umumnya diwujudkan dalam bentuk persembahyangan dan pembersihan simbolis di tempat-tempat suci. Sementara Sugihan Bali melibatkan pembersihan diri secara fisik dan spiritual, seringkali dengan menggunakan air suci dan sarana upakara lainnya.
Prof. Sudiana menekankan bahwa kedua upacara ini tidak hanya sekadar ritual, melainkan upaya untuk menciptakan penyelarasan antara bhuana alit (diri manusia) dan bhuana agung (alam semesta) – sebuah konsep harmoni yang dikenal sebagai hita ikang bhuana.
Melalui Sugihan Jawa dan Bali, umat Hindu berupaya mengurangi dampak negatif aktivitas manusia terhadap lingkungan serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan alam.
"Sugihan Jawa dan Sugihan Bali tak hanya laku ritual semata. Tetapi memiliki makna yang penting bagi umat Hindu dan alam semesta, "pungkas Prof. Sudiana. (SB)